Tokyo bay
- Home
- Cerita Sex Gay
- Tokyo bay
Tokyo bay
CERITA SEX GAY,,,,
love I get so lost, sometimes days pass and this emptiness fills my heart
when I want to run away I drive off in my car
but whichever way I go I come back to the place you are
all my instincts, they return and the grand facade, so soon will burn
without a noise, without my pride I reach out from the inside
in your eyes the light the heat
in your eyes I am complete
in your eyes I see the doorway to a thousand churches
in your eyes the resolution of all the fruitless searches
in your eyes I see the light and the heat
in your eyes oh, I want to be that complete
I want to touch the light the heat I see in your eyes
*****
“In your eyes” beralun perlahan dari broadcast yang entah apa namanya. Suara Peter Gabriel seolah melingkar-lingkar dalam kamar. Aku terbangun mendapati Kenji yang sedang komat-kamit ikut melafalkan syairnya dengan mata terpejam. Gerakanku meluruskan kaki dibawah selimut sambil memutarkan tubuh menatap langit-langit kamar 1803 hotel, Shiba Yayoi Kaikan tidak juga mengusiknya.
*****
love, I don’t like to see so much pain
so much wasted and this moment keeps slipping away
I get so tired of working so hard for our survival
I look to the time with you to keep me awake and alive
and all my instincts, they return and the grand facade, so soon will burn
without a noise, without my pride I reach out from the inside
*****
Aku coba memejamkan mata dan mencari sepasang mata entah milik siapa dalam benakku. Perlahan-lahan aku bersenandung pelan mengikuti..
*****
..
..
oh, I want to be that complete
I want to touch the light,
the heat I see in your eyes
in your eyes.. in your eyes..
in your eyes.. in your eyes..
in your eyes.. in your eyes..
*****
Ahh.. beberapa wajah datang berganti.. berpendar-pendar.. merah.. biru.. kuning.. ungu.. Aku seolah terperosok dalam lubang masa lalu yang penuh dengan rasa yang sulit aku mengerti. Ahh.. betapa indahnya jika dikelelilingi oleh pasangan mata yang selalu tersedia sorot kasih dan kelembutan dalam bening bola-bola mata yang begitu lekat terukir di hati.. Kembali satu per satu wajah yang begitu aku kenali menari-nari di dalam sanubari. Hidup ini memang sulit ditebak. Kadang garis tangan memimpin kita ke arah yang tidak terduga. Dan semua rancangan kebahagiaan, sangat sering berada diluar kekuasaan dan kemampuan perencanaan yang kita susun.
“What’s on your mind Bear?” Suara Kenji setengah berbisik melenyapkan sosok-sosok yang berpendar-pendar tadi. Aku menggelengkan kepala sambil tetap memejamkan mata. Aku tak punya jawaban untuk pertanyaan itu. Kala terasa tangan yang kekar dan hangat membelit dadaku dan menarik kepalaku sehingga aku terpaksa miring kearah Kenji dan tenggelam dalam dekapannya yang hangat. Aku hanya dapat merasakan kehangatan pundak dan leher yang membenamkan wajahku membaui aroma yang sangat akrab Gucci Envy. “Do you miss him, Bear?” Suara Kenji serak diatas ubun-ubunku. Nafasnya terasa menerbangkan beberapa helaian rambut di kepalaku.
Aku mengangkat kepala dan menatap mata Kenji yang menatap lembut setengah terpejam. Sorot mata itu seolah membelai dengan pengertian dan kesungguhan yang tulus. Ahh.. mata itu selalu berbicara dengan bahasa yang paling dalam dengan kehalusan yang sulit aku pahami. Tanpa sadar aku menggeleng yang entah untuk apa. Namun saat ini yang aku inginkan adalah membenamkan diri dalam kelembutan kasih yang terpancar di mata yang teduh itu. Aku meringkuk ke dalam pelukannya dan Kenji segera mengetatkan rangkulannya dan membuai dengan gerakan yang berirama. Kami sama-sama diam dan menikmati ayunan yang refleks bergoyang perlahan dalam tempo yang tetap.
Aku rasa tidak perlu ada sepatah kata yang hanya merecokin bathin kami yang sedang berdialog dalam diam. Oh God, saat-saat semacam ini adalah saat yang paling aku rindukan. Saat-saat dimana aku menyadari sepenuhnya bahwa aku tidak sendirian. Bahwa ada seseorang disini yang hadir untukku dalam bad time or good time. Ahh.. bisakah jarum jam membeku beberapa hitungan hari, di saat-saat seperti ini, demi aku? Sejuta kata cinta tidak lagi diperlukan saat ini.. Kadangkala bahasa mata dan tubuh speak louder and deeper than words can say. So, I prefer to see love than to hear it any day.
Sementara malam makin turun di luar. Hujan yang tadinya meluluh-lantakkan kota Tokyo telah lama berlalu. Aku dapat melihat melalui jendela lampu-lampu yang menghiasi Hama-Rikyu Garden yang letaknya di seberang Hotel Shiba Yayoi Kaikan. Di sebelah kanan hotel nampak sejumlah orang yang secara sporadis masih menyusuri Takeshiba New Pier di pesisir Tokyo bay. Jauh di seberang terlihat lampu warna-warni dari Tokyo Central Wholesale Market dan Shin-Ohashi Dori Ave. dan Harumi-Dori Ave dengan latar belakang arsitektur klasik dari Tsukiji Honganji Temple. Tepat beberapa meter di depan hotel Shiba Yayoi Kaikan terlihat air Sumidagawa River yang memantulkan kilauan emas dan perak dari lampu-lampu di sepanjang pier. Sayang Rainbow Bridge dan Tokyo Harbor Cross Bridge tidak terlihat dari kamar kami karena letaknya di bagian belakang kamar.
Saya sungguh mengagumi Rainbow Bridge setiap kali across ke Yokohama. Dari jembatan raksasa ini pemandangan benar-benar indah. Keindahan kota Yokohama sangat spectaculer dilihat dari Rainbow Bridge, demikian juga Daiba Seaside Park yang terletak jauh di bawah Tokyo Harbor Cross bridge. Di sebelah kanan jika kita menuju Yokohama. Kenji sengaja memilih tempat ini agar aku bisa menikmati pantai dan laut yang merupakan tempat terfavorit-ku.
Tak sadar aku menarik napas panjang seolah ingin menyimpan semua keindahan di luar dan kehangatan suasana hati ini sampai kapan pun. Musik mengalun lembut dari radio yang kini memutar satu nomor dari Misia, penyanyi cewek Jepang yang aku paling demen dengan lagu “Everything”, yang beberapa tahun lalu masuk daftar hits di Jepang ketika aku masih belajar di Nagoya. Suara Misia fade away dengan pasti dan kini berganti dengan Deep Purple yang “merintih” dengan “Soldier of Fortune”. Kenji dan aku sama-sama tetap sibuk dalam diam.
Entah apa yang ada dalam pikiran Kenji saat ini, namun aku sendiri males untuk memikirkan tentang apapun juga. Aku membiarkan pikiranku didominasi oleh ‘rasa’ yang saat ini mewarnai nuansa dalam kamar dengan sentilan-sentilan tegas penuh warna-warni sendu. Ahh.. kok suasana jadi berubah cengeng begini? Tiba-tiba nada-nada menggelitik yang lincah terbang keluar dari radio dan meluberkan suasana yang moody-blue. Paul Anka dengan Puppy Lovenya, “Diana”!
*****
I’m so young and you’re so old
’tis my darling I’ve been told
I don’t care just what they say
‘coz forever I will pray..
*****
Aku menghentak-hentakan kaki sambil mengetukkan jari mengikuti beat yang riang. Kenji mengiringi dengan suara “duu.. duu.. du.. du.. duu..” style backing vocal pro. Tak mau kalah aku timpali dengan “wuaapp.. dwaapp.. dwaapp.. dwaapp..” Suasana jadi berubah ramai dan lucu.
“Can you dance Jive, Sweety?” Kenji tiba-tiba bertanya
“Oh sure.. I’m the good dancer”. Aku menjawab mantap
“Really??”
“Yeahh..”
Kenji melompat turun dar tempat tidur dan melucuti bed cover yang aku selimuti.
“Come on, teach me how to dance jive”. Sambil mengkilik-kilik telapak kakiku.
Mau tak mau aku juga turun dari bed dan berharap bisa menunjukkan penampilan terbaikku dengan coda dari “Diana” yang terus fade away. Kenji mencoba mengikuti namun beberapa kali aku yang kehilangan keseimbangan karena dia tidak dapat mengikuti step-step kakiku yang agak cepat selain harus berputar kadang 90 derajat atau bahkan 180 derajat sambil kaki silang menyilang sana-sini. Akhirnya dia hanya berdiri dengan tersenyum dan memandangiku menunjukkan langkah-langkah dasar jive dan se-sekali variasi antara jive dan rhumba yang aku coba dengan tubuh yang mulai tambun.
Suara Paul Anka lewat aku ngos-ngosan dengan tubuh hangat berkeringat. Lumayan buat practice aerobic yang for years sudah tidak pernah aku lakukan lagi. Ketika Kenji memberikan standing applaus saya bersandar kelelahan di depan jendela kamar, mengatur irama napas yang tidak beraturan. Di luar hanya ada malam yang gemerlap dengan lampu-lampu jalan. Sekali-sekali ada sorot lampu mobil yang bergerak menerobos keremangan di sekitar pier. Kenji mendekat dan mengelap keringatku yang berceceran di pelipis dan tengkuk dan membantu melepaskan kaus oblong putih yang sudah menjadi transparan menempel di badanku karena keringat yang membanjir.
“Don’t move Bear, let me dry up your wet back” kata Kenji sambil mengedipkan matanya.
“Ok” aku mengangguk sambil memandang lurus keluar jendela. Dan Kenji mengeringkan kucuran keringat di punggungku dengan bagian depan tubuhnya yang tanpa baju. Aku merasakan tubuhnya yang hangat merapat dan tanpa rasa sungkan bibirnya menyusuti keringatku yang mengembun di leher dan pundakku. Aku merasa risih dengan the way he kissed away my sweaty body. Tanpa sadar aku menggerakkan punggungku menjauhi bibirnya.
“No, please relax and enjoy it Bear” pinta Kenji dengan hunjaman bola matanya yang redup.
Namun aku tetap merasa rikuh dengan caranya. Ketika dia bersikeras dengan isyarat matanya, sebelum memunggunginya, aku membersihkan sekujur bibirnya yang basah oleh keringatku dengan bibirku (tentu saja). Seolah memahami perasaanku, Kenji tersenyum dan membalas dengan lembut. Tubuhku kemudian diputar kembali membelakanginya, dan aku merasakan sensasi yang dahsyat kala bibir dan lidahnya mulai menjelajahi seluruh bagian dari leher, pundak dan punggungku yang terbuka. Napasku yang tadinya berangsur kembali normal, kini kembali memburu.
Kedua tanganku diangkat ke atas, sejajar dengan kepalaku dan disandarkan pada kaca jendela. Kini dengan leluasa He run his fingers over my chest and stomach while kissing and sometime giving a little naughty bite on my back. Aku tak lagi ingat atau mendengarkan lagu apa yang kini giliran diputar oleh radio yang belum dimatikan. Yang tedengar hanyalah erangan kecil dan geliat yang menggerakanku atas reaksi bibir dan jemari tangan Kenji yang entah kemana karena mataku tak sanggup bertahan untuk tetap terbuka dan awas.
Berkali-kali aku coba berbalik, namun sebegitu pula Kenji mendesakku dengan lembut untuk tetap memunggunginya.
Ketika aku merasakan dengus napasnya menggelitik menyusuri pinggul dan turun ke bawah, aku baru menyadari bahwa kini aku bediri dalam keadaanku yang sebenarnya. Dengan spontan aku berputar menghadapi Kenji yang sedang sibuk bersimpuh. Perlahan aku mengangkat pangkal kedua tangannya yang masih menempel ketat pada bagian bawah tubuhku. Kali ini Kenji menurut dan berdiri dengan segera.
Bibirnya yang perlahan menjalar naik sampai ke perut dan perlahan menyusur ke atas.. ke dadaku, leher.. dagu.. dan saat mencapai bibirku, aku meyekap bibir itu dengan penuh perasaan terima kasih. Perlahan kecupan terima kasih itu dirubah Kenji menjadi panas dan panas.. Dan semakin panas.. Tanganku menyusuri dadanya yang bidang dengan otot yang kenyal dan basah, dibasahi oleh keringatnya atau keringatku, persetan pikirku. Aku ingin memberikan penghargaan yang sama padanya dengan menyusuri bidang yang menggairahkan itu dengan semangat yang berkobar-kobar.
Tiba-tiba tanpa diduga.. jeritan perutku yang keruyukan dengan bunyi yang sanggup mengatasi decak bibirku yang melaburi sekujur dada dan perutnya. Bagai dikomando, kami berdua sama-sama mengangkat wajah masing-masing.
“Hahh.. nanji desu ka? (Apa itu?)”, tanya Kenji seraya menoleh ke jam meja. Ternyata hari telah jam 21:20 waktu Tokyo. Dengan tersenyum lucu, Kenji merangkulaku dan membimbing ke arah pesawat telepon. Sambil tangannya mengelus-elus perutku, Kenji meminta “room service” untuk mengantarkan sushi dan tepanyaki. Tak terasa sejak sore tadi waktu meninggalkan OVTA, perut kami belum terisi. Dan begitu sampai di kamar hotel kami langsung tertidur.
Sementara Kenji menelepon dan membaca menu yang ada, tangan kirinya membimbing tanganku untuk menurunkan kancing tarik jean yang dipakainya. Setelah berturut-turut blue jean dan G string briefnya teronggok di lantai, sebagaimana kebiasaan masyarakat Jepang yang suka mandi air panas pada larut malam. Kami berendam dalam air panas di bath-tub sembari merencanakan perjalanan esok hari ke Yokohama dan Kamakura.
Sementara menunggu room service untuk meredakan cacing-cacing perutku yang hampir seharian belum melepaskan kekangenan pada nasi, yang mana hampir-hampir terlupakan karena ternyata Kenji sendiri mampu menghadirkan room service yang amazingly, yang bisa membuatku tega dengan nasib cacing-cacing yang malang itu. Ternyata masih ada “cacing” lain yang perlu didahulukan(?)
Aku tersenyum geli menyadari hal ini dan kembali.. kembali mata itu tersenyum dengan penuh kharismanya. Di luar ada malam telah merayapi senyapnya hari. Hujan telah lama berhenti namun tak ada sebutir bintang pun di langit. Namun mata itu memancarkan bagaikan bintang kejora yang bersinar ceria.. teduh.. namun kadang nakal dalam kerling dan menggelitik hati. Di saat lain berkobar dan bergululung-gulung dalam kedahsyatan yang passionate namun tetap menetramkan dan .. ah.. Aku tak pandai berkata-kata untuk menjelaskannya dengan tepat. Ahh.. mata memang benar jendela jiwa adanya..
*****
in your eyes the light the heat
in your eyes I am complete
in your eyes I see the doorway to a thousand churches
in your eyes the resolution of all the fruitless searches
in your eyes I see the light and the heat
in your eyes oh, I want to be that complete
I want to touch the light the heat I see in your eyes
P.S: to be continued dengan catatan di “Asakusa Kannon” dan “Sumida River”, “Kotokuin Daibutsu”, Kamakura, dan “Hadaka Matsuri” (Naked Festival), “Shukuba-no yu” (public-bathhouse) and many more..
Tamat
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,